Refleksi


Kali ini aku memang jarang sekali untuk pulang ke rumah. Disamping banyaknya tugas yang diemban dan menyelesaikan tugas kuliah, mungkin kalau pulang ke rumah akan sedikit merepotkan di rumah. Mungkin juga mereka rindu pada anaknya juga, sampai-sampai dihubungi melalui telepon. Sebagai seorang anak, aku hanya bisa menuruti dan berkata jujur kalau mungkin aku tidak bisa pulang. Kalaupun bisa, biasanya melihat time table terlebih dahulu waktu mana uang tepat untuk pulang. Malang-Mojokerto (Pacet) sebenernya tidak terlalu jauh jika melalui kota wisata Batu. Namun, perjalanan tesebut harus dengan sepeda motor dan hati-hati karena jalanan licin, dan sebagainya. Oleh karena itu, memilih angkutan umum sebagai jalan pilihan merupaka langkah yang santai untuk pulang karena aku bisa tidur-tiduran di dalan angkutan umum.
Perjalanan pulang pertama harus menaiki Line AL (Arjosari-Landungsari). Angkutan berwarna biru ini merupakan andalan bagi warga kota Malang khususnya mahasiswa yang berkantong tipis. Dengan biaya Rp. 3000,- sudah bisa berkeliling Kota. Aku pikir line di kota ini lebih bagus dari pada line yang ada di kota maupun di desaku. Perfomance dari angkutan ini dibilang cukup jreng dengan birunya dan masih layak untuk dinaiki. Tapi kalau dibandingkan dengan negara tetangga, jelas beda dan jauh. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan penuh dari pemerintah, swasta dan masyarakat untuk mendukung transportasi umum sebagai jalan pilihan terbaik untuk mengatasi kemacetan yang sudah mulai muncul.
Tiba di Terminal Arjosari di suguhkan dengan semrawutnya penumpang, asongan dan pedagang yang mondar-mandir menjajakan dagangannya. Akan lebih baiknya jika pemerintha tegas dalam mnertibkan terminal ini. Hal ini beda sekali ketika kau melihat di sebuah film korea, terminal di sana tertib dalam menaiki dan menurunkan penumpang. Hal ini yang harus kita tiru. Sebenarnya kita sebagai negara yang katanya “ramah”, namun faktanya kita tidak ramah dengan warga negara sesama.
Di tengah perjalanan, aku melihat fenomena yang mungkin sudah menjadi kebiasaaan yakni kondisi lalu lintas. Banyak kawan dari kita yang tidak atau mungkin kiurang mngerti tentang lalu lintas. Sehingga mereka melanggar aturan seperti terlalu menambaha kecepatan sehingga membahayakan diri sendiri namun juga keselamatan orang lain.
Sampai di Trawas, aku di jemput oleh Ayah yang mungkin sudah menunggu 5 menitan. Aku merasa berterimakasih dan bangga memiliki ayah yang penyabar dan selalu mendukung yang terbaik untuk anak-anaknya. Meski seorang petani, namun semangat tentang pendidikan sungguh sangat luar biasanaya. Memang Ayah dahulu pernah mengenyam pendidikan pesantren yang cukup lama dan bangku kuliah namun berhenti di tengah jalan. Oleh karena itu, anaknya selalu di berikan motivasi yang mungkin tidak langsung untuk selalu bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu.
Di sela-sela bersepeda, aku melihat kondisi desaku yang sudah jauh lebih baik, sarana infrastruktur yang sudah komplit, jalan-jalan yang mulus, saluran irigasi yang sangt membantu dalam musim tanam tiba nantinya.
Setiap kali pulang selalu berpikir, apa yang harus saya berikan pada dea tempat tinggal ku ini? Apa yang harus aku majukan?, dan lain sebgaianya. Mungkin suatu hari nanti aku akan memajukan dengan latar belakangku. Sebuah desa harus maju, karena hal itu akan berdampak pada keadaan sosial, ekonomi mayarakatnya. Wallahu A’lam

Komentar

Unknown mengatakan…
amiiinn. it's really nice reflection

Postingan Populer