Badminton Journey
Sewaktu
kecil, aku suka sekali olahraga Bulutangkis. Almarhum Pakdeku yang getol
sekali mengajak bermain olahraga ini. Biasanya, kami bermain setiap pagi di
depan rumah kakek, tentunya dengan raket murah dan biasa. Karena raket yang aku
pakai kurang berkualitas, senar raket pun sering kali putus.
Ketika
masuk SMP, aku mengikuti ekstrakurikuler bulutangkis. Melihat orang-orang
bermain bulutangkis dengan raket yang bagus dan sepatunya sekaligus, rasanya
ingin sekali bermain seperti itu. Dalam hati aku mengatakan ‘kapan ya bisa beli
raket yang asli?’ Karena saking inginnya memiliki raket yang bagus. Oleh karena
itu, karena saking semangatnya Aku pergi ke pusat kota Mojokerto untuk
membelinya.
Sesampai
di toko tersebut, ternyata harga raket memang cukup mahal. Kulihat
bermacam-macam raket dipajang dan segala aksesoris lainnya. Karena uang yang
tidak mencukupi, akhirnya aku putuskan untuk membeli raket yang sesuai dengan
kantongku saja. Rasa senang dan bersemangat pun memuncak ketika bisa memiliki
raket yang, menurutku, lebih baik dari pada ketika semasa SD. hehe
Namun,
umur raketku tidak berlangsung lama. Setelah dipakai main beberapa kali, rangka
raketku pun mulai bengkok dan tidak seperti ketika aku beli dulu - hehe.
Seketika itu, aku hanya mengandalkan pinjaman raket teman yang lain. Rasa ingin
memiliki raket pun sempat tidak muncul sampai menginjak di SMA. Meskipun,
terdapat ekstra bulutangkis di SMA, aku sepertinya kurang bersemangat untuk mengikutinya.
Walaupun
begitu, aku (masih) suka sekali menonton pertandingan Bulutangkis yang
ditayangkan di layar Televisi. Bakhan pernah suatu ketika di Pondok Pesantren.
Waktu itu, ada pertandingan Thomas & Uber Cup. Aku dan teman-teman santri
lainnya menontonnya di kamar. TV yang sudah mulai rusak itupun, kami perbaiki
bagaimanapun cara hingga kami bisa menonton. Ketika asyik-asyiknya bersemangat
melihat jagoan kami di TV. Tiba-tiba kami terkejut salah satu pengasuh pondok
memergoki, dan semanjak itu TV harus sudah mati (lupa ceritanya bagaimana).
Kalau tidak salah, saat itu tim Indonesia masuk ke semifinal. Akhirnya, kami
harus mematikan TV dan melanjutkan mengaji.
Ketika
masuk ke Universitas di Malang, Aku mencoba untuk menemukan kembali hobiku itu.
Akhirnya, aku mendaftar ke UKM Olahraga yang ada di kampus. Meski sudah
mendaftar, aku tidak jadi untuk mengikutinya karena takut akan diklatnya, yang
kabarnya tidak enak - suatu pikiran yang sangat pendek. Untuk kesekian
kalinya, aku tidak jadi mengikuti komunitas bulutangkis. Seiring berjalannya
waktu, aku menemukan teman-teman yang suka sekali bulutangkis. Akhirnya,
kadang-kadang, aku diajak mereka bermain di Sport Center yang ada di kampus. Senang sekali rasanya
bisa bermain Bulutangkis kembali.
Alhamdulillah,
ketika studi di Bandung, banyak teman-teman yang mengajak untuk membuat
komunitas olahraga satu ini. Sehingga, ada jadwal khusus untuk bermain
bulutangkis, biasanya di akhir pekan. Beruntungnya lagi, GORnya dekat dengan
tempat tinggal, sehingga menambah semangat untuk berolahraga. Aku mengakui
bahwa I am not a good player dan memang masih harus terus belajar dan
belajar. Mulai power, service, ketepatan smash dan tentunya strategi. Belajar
dari teman yang ada. Belajar dari TV atau Youtube- J. Karena
kami bukan pemain pro seperti di tivi-tivi, yang penting dapat
berolahraga dan tentunya having fun, but it is still in the right rule.
Dari
semua cerita yang ada, aku berkesimpulan bahwa do what you like (the
positive thing ya) itu menjadi penting. Karena, by doing what we
like, it leads to happiness as long as as it is still in a good track. Jadikan
itu semua menjadi wasilah untuk bahagia dan tentunya menambah ilmu baru. Yang
paling penting lagi, dengan adanya komunitas ini kami dapat menambah teman baru
dan tentunya menambah nilai silaturahim antar sesama. Good Play, Fair
Play, & Fun Play.
Komentar